“Tas lu ada apanya, dah, berisik banget.” Temanku bingung, kenapa ada bunyi ramai dari dalam tasku. Ceritanya Aku lagi jalan kaki sama teman, dan kebetulan sekeliling agak sepi, jadi kedengaran, tuh, isi di dalam tas.
“Biasa lah, bawaan gue kan gini ke
mana-mana, jarang bareng gue, sih, lu!” Aku menjawabnya sambil nyengir tapi
enggak kelihatan, ya, kan, pakai masker. Hahaha.
“Coba mana lihat isinya, bawa apaan,
sih!” pintanya saat kami sampai di dalam ruangan yang menjadi tujuan.
Sambil duduk Aku buka tas
punggung warna orange yang cukup sering kupakai untuk bepergian. Langsung Aku
keluarkan botol tumblr warna merah, payung, dompet, hand sanitizer, tisu basah, satu set sedotan, dan terakhir alat
makan, iya, sendok, garpu, dan sumpit dalam satu kotak. Sepertinya yang
terakhir itu yang bikin berisik.
“Buseeettt, ngapain lu bawa-bawa
ginian? Bawa sedotan, sendok satu set. Kayak anak TK bawa bekal, terus mana
bekalnya?” tanyanya lagi sambil tertawa kecil.
(dokpri) |
Langsung, lah, ya, Aku ceramah
panjang kali lebar kali tinggi. “Gini, ya, Cuy. Bawa alat makan ini bukan
masalah berapa umur lu, dan apa status lu. Ini adalah masalah kita semua,
masalah kesehatan Bumi. Gue bawa semua ini, berusaha buat kurangin sampah, kita
manusia, kan makan mulu kerjanya, kalo setiap beli, alat makannya itu plastik
pasti jadi sampah, yang dari kayu aja juga bakal langsung jadi sampah biasanya.
Sehari ada 1.000 orang yang pakai alat makan sekali pakai, berarti ada 1.000
sampah dalam satu jadwal makan. Nah, kalau makan sehari tiga kali, berarti udah
3.000 sampah dalam sehari. Ini juga kalau pakainya satu doang, misal sendok
doang. Coba kalau pakai garpu juga, atau pakai sendok juga pakai sumpit. Dah,
lah, bumi ketutup sampah. Udah mana ngolahnya susah, hancurnya juga susah,”
jelasku.
“Kan, ada tempat pembuangan
sampah, enggak dibuang sembarangan, bisa dibakar juga, atau daur ulang, noh
jadi kerajinan tangan,” kilahnya.
“Nih, yang gini, nih, yang bikin
bumi sesak napas. Coba, deh lu ke tempat pembuangan sampah akhir, biar tahu
gimana polusinya di sana, lu mungkin sekarang buang sampah di tempatnya, tapi
kan lu enggak tahu itu sampah berakhir di manaaa.” Aku mulai gemas. “Terus
kalau mau daur ulang, sedikit, Cuy yang mau bikin kerajinan dari semua sampah
itu. Mungkin sekarang lu tertarik bikin sesuatu, tapi lu kan bosenan, entar
kerajinan daur ulang belum jadi apa-apa udah lu tinggalin. Orang aja lu PHP-in,
apalagi benda mati.”
“Mulai dah, lu, ah. Seneng banget
lu ngeledekin gue. Gue tuh, korban. BTW, udah pernah lewat TPA, sih, baunya
kayak ketek Naga,” ucapnya.
“Sok-sokan ketek Naga, cium pipi
pacar aja lu gak pernah!” ledekku dan dia manyun. Hahaha.
“Kamvrede, lu, yang ada dia
ketagihan cium-cium pipi gue! Ribet tapi bawa-bawa gituan, menuhin tas aja.”
Dia ngeles lagi.
“Lebih ribet mikirin dampak dari
alasan-alasan kayak lu gitu. Tahu enggak lu, itu alat makan ada pabriknya,
pabrik plastik, lah, udah pasti. Kepikiran limbahnya, nggak? Kepikiran asapnya
nggak? Dia nyumbang emisi, naik ke langit, dah lah, nih, urusannya langsung ke
pemanasan global.” Aku jelaskan sedikit.
“Eh, emang iya? Kok gue nggak
kepikiran, dah, selama ini gue cuma mikirnya, tuh, dari asap kendaraan bermotor
yang pakai bahan bakar minyak.” Dia mulai menunjukkan ketertarikan pembicaraan.
Hahaha.
“Ya, bener, itu salah satunya
juga, makanya lu juga jangan manja males jalan kaki, males naik angkutan umum,
maunya bawa kendaraan sendiri. Malah ribet tahu, cari tempat parkirnya, lu jadi
kurang gerak juga, ditambah jadi penyumbang emisi. Enggak kasihan sama diri
sendiri dan bumi apa lu?!” Ocehku dan dibalas cengengesan garingnya.
”Lu jangan marah ke gue dong, dari
masalah tas lu bunyi berisik, jadi ngapa ujungnya ngomelin gue!” protesnya.
“Ya, gue nggak ngomelin lu, gue
ingetin aja, nah kan analoginya andai saja ada 1000 orang yang mikir kayak lu,
sedangkan di dunia ini ada milyaran orang. Pemanasan global, nih, jadi tanggung
jawab kita semua. Pemanasan global enggak bisa dicegah, kita hanya bisa
mencegah efek perubahan iklimnya. Ada dua cara, mencegah karbon dioksida lepas
ke atmosfer, atau mengurangi produksi gas rumah kaca,” terangku sambil sesekali
menyeruput air jeruk di dalam tumblr. “#TimeforActionIndonesia dimulai dari
diri kita sendiri, Cuy,” tambahku.
“Gue juga sempat baca, akibat
pemanasan global itu serem banget, gletser hilang, pegunungan bersalju tebal,
saljunya jadi tipis gitu. Banyak hewan yang punah jadinya, pulau jadi bisa
tenggelam, dong, ya. Gue kan, suka banget maen ke pulau-pulau gitu. Haduuuhhh.”
Kepalanya yang enggak kenapa-kenapa itu diusap-usap.
“Gue bersumpah, sebagai #MudaMudiBumi.
#UntukmuBumiku, Gue nggak akan pernah capek ngingetin hal kayak gini ke
teman-teman gue!” ucapku tegas.
“Gue juga, ah, sebagai anak muda
penerus bangsa, bakal dukung usaha lu,” susulnya.
“Yeee, si dodol, dukung doang
bukannya sadar!” ucapku seraya menoyor pelan kepalanya.
“BTW, Cuy, kebiasaan lu malas
mandi itu dilestarikan aja,” ucapku lagi.
“Hah?! Kenapa emangnya?” tanyanya
heran.
“Soalnya dampak dari perubahan
iklim itu, kita jadi krisis air bersih. Tapi, ya, risikonya lu paling bau Naga.
Hahaha…,” ucapku sambil bergegas jalan ke toilet.
“WICHAN SIALAAANNN, GUE KUTUK NIKAH SAMA BIAS LU NIIIHHH!!!” teriaknya terdengar sampai 30 meter.
"AAMIIINNN!!!" balasku enggak kalah kencang. Hahaha...
Sumber:
https://ugrg.ft.ugm.ac.id/perspektif/pentingnya-mitigasi-dan-adaptasi-terhadap-perubahan-iklim/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mitigasi_perubahan_iklim
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Energi_terbarukan
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Efek_rumah_kaca
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global
Sama dooong. Bawaannya segambreng klo mo kmn2
BalasHapusDemi masa depan manusia yang lebih baik, ya, kan.
HapusGembolannya gede yaaa kayak kantong doraemon hehe
BalasHapusIya, Kak. Membiasakan untuk bawa peralatan itu. Hihihi.
Hapussangat menginspirasi. apalagi untuk anak muda sekarang
BalasHapus