TANGGUH!
TANGGUH!
TANGGUH!
SIAP UNTUK SELAMAT!
Pagi hari tanggal 26 April 2018 siap apel pagi, di Graha BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Itu hari Kamis, ngapain apel? Hmmm. Gini gini gini, tanggal 26 April itu adalah Hari Kesiapsiagaan Bencana atau HKB. Jadi, apel itu dipersiapkan karena akan dilakukan simulasi saat terjadi bencana.
Simulasi enggak cuma di Graha BNPB, tapi juga di BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) dan harusnya keseluruhan, karena hari kesiapsiagaan bencana, jadinya nasional. Hari itu di Graha BNPB simulasi serentak dilakukan pukul 10 pagi sampai 12 siang. Simulasi ini melibatkan banyak pihak, ada anak-anak, dewasa, penyandang disabilitas, karyawan dan lain sebagainya.
Target peserta secara nasional itu 25 juta orang dan tempat latihannya di lingkungan masing-masing, seperti mahasiswa pelatihan simulasi bencana di kampus, dokter dan rekan kerjanya simulasi di Rumah Sakit, dan sebagainya.
Kenapa kita harus melakukan simulasi kesiapsiagaan bencana?
Karena, Guys, secara geologi Indonesia ini ada di antara tiga lempengan, Eurasia, Pasifik, dan Hindia - Australia. So, Indonesia rentan terhadap gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya. Jadi kayak belajar geografi zaman SMP, nih, aku.
Bencana itu sendiri ada gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, tanah longsong, puting beliung, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan. Setiap bencana ada teknik penyelamatannya masing-masing, penting banget buat latihan semuanya walau di lingkungan kita gak mungkin banjir misalnya, karena bisa jadi kita mengalami bencana di luar tempat tinggal kita atau lingkungan kerja.
Tanggal 26 itu aku ikut simulasi di lantai 3, di mana pesertanya ada yang spesial, yaitu teman-teman tuli yang diajak oleh BNPB untuk ikut simulasi dan diberikan edukasi tentang siap siaga bencana. Dari 20 orang yang diundang, enggak semuanya hadir, tapi aku banyak dapat info baru. Selama ini aku pribadi komunikasi sama orang biasa yang bisa melihat, berbicara, dan mendengar. Tapi ternyata teman-teman tuli ini, kan, enggak bisa mendengar jika ada bencana, seperti bunyi alarm atau kentongan, dan lain sebagainya.
Bapak Lilik Kurniawan menjelaskan evakuasi jika terjadi bencana ke saudara-saudara yang tuli. Selama ini yg kita tahu kalau ada bencana, itu dari suara alarm, dan teman yg tuli enggak akan tahu, maka disiapkan lampu seperti lampu sirine. Teman-teman tuli ini diedukasi misal terjadi gempa bumi, hal pertama yang harus dilakukan cari tempat yang aman untuk menyelamatkan diri. Jika di dalam ruangan, cepat masuk ke bawah meja yang kokoh. Kalau dekat dengan pintu keluar, segera keluar dan menjauh dari bangunan tinggi.
Bapak Lilik Kurniawan (dokpri) |
Alarm tanda bahaya yang akan berbunyi dan menyala saat ada bahaya (dokpri) |
Simulasi saat terjadi gempa bumi (dokpri) |
Kalau kebakaran, kita keluar dengan merangkak, jangan berdiri, agar tidak banyak menghirup asap. Informasi yang ini aku beneran baru tahu, lho, selama ini ya tahunya lari saja, wong panik, kaaannn. Kalau menghirup banyak asap, sistem pernapasan akan terganggu, dan makin panik buat cari jalan keluar.
Teman-teman yang tuli itu berharap ada bantuan informasi bencana berupa runing text atau SMS. Mereka juga minta info dari internet, artinya harus secepat mungkin untuk sampai ke masyarakat terutama teman-teman yang tuli.
Suara alarm di luar gedung bunyi kencang banget, baru deh alarm di lantai 3 bunyi dan lampunya menyala, selama 2 menit semua jongkok dan ada yang berlindung di bawah meja. Aku tahu itu simulasi, tapi serius deh, deg-degannya beneran. Waktu 2 menit itu terasa lama banget, aku takut banget itu alarm bencana asli, simulasi tapi bikin lemas. Hahaha.
Setelah alarm mati, petugas membantu mengarahkan semua orang di setiap lantai dengan pengeras suara mengatakan "Jangan panik, tetap tenang, keluar dari ruangan ikuti saya. Semua tenang, jangan panik, tetap lindungi kepala." Aku mau ketawa tapi panik, jadi cengar-cengir sendiri. Semua dipandu keluar dari tangga darurat. Oh, ya, misal pas bencana kita lagi di dalam lift, pencet semua tombol dan gunakan interphone untuk minta bantuan.
Tetap melindungi kepala dan jangan panik (dokpri) |
Titik kumpul (dokpri) |
Hari Kesiapsiagaan Bencana ini ada sebagai salah satu instrumen dalam memperkuat sadar bencana. Faktanya dari sekian juta penduduk di Indonesia dalam 5 tahun terakhir ada 86% orang yang tidak melakukan simulasi bencana. Budaya sadar bencana harus terus menerus agar bangsa Indonesia bisa bertindak benar saat ada bencana. Jika setiap orang memiliki budaya sadar bencana, maka akan paham ancaman bencana yang mungkin terjadi di lingkungannya, dan tahu harus melakukan apa saat bencana itu terjaidi.
Simulasi siap siaga bencana itu enggak cuma bagaimana menyelamatkan diri, tapi juga pengecekan segala sarana dan peralatan penyelamatan, jangan sampai peralatan ada yang rusak dan baru diketahui belakangan.
HKB di Graha BNPB itu seru banget, beneran aku lihatnya begitu. Hahaha. Ceritanya di lantai 5 dan 10 ada kebakaran, lalu dikerahkan mobil pemadam kebakaran, ditariklah fire hose, sudah siap dipegang beberapa orang itu coupling selang, aku enggak kebayang kencangnya semburan air itu. Hmmm. Aku enggak berani dekat-dekat, dan ternyata benar saja, coupling setting-annya menyebar, bukan ke satu arah, alhasil basah semua yang ada di dekatnya.
Simulasi kebakaran di lantai 5 (dokpri) |
Pemadaman ke arah lantai 5 (dokpri) |
Semakin ramai suara teriak-teriak saat mobil damkar satu lagi menyemprotkan air bukan ke gedung dan malah ke area titik kumpul. So, yang enggak pakai payung basah banget. Dan, itu malah seru. Hahaha. Dari lantai 5 evakuasi korban menggunakan flying fox, mulai dari korban yang masih sehat, lalu korban yang lemas karena menghirup asap, dan korban yang sudah sangat lemah. Khusus korban yang sangat lemah, tali pengaman tidak langsung diikatkan di tubuhnya melainkan pada tandu dan tubuh korban diikatkan pada tandu.
Evakuasi dengan flying fox dari lantai 5 (dokpri) |
Evakuasi dengan tandu dari lantai 10 (dokpri) |
Simulai evakuasi dari lantai 10 yang juga terjadi kebakaran adalah dengan cara rappeling. Jika korban sehat, bisa turun sendiri dengan didampingi petugas penyelamat, jika sedang sakit bisa diikat bersama petugas dengan posisi korban duduk di paha petugas dengan posisi memeluk. Jika korban sudah biasa rappeling, maka bisa turun sendiri tanpa didampingi petugas penyelamat. Tali-tali yang digunakan untuk seluruh evakuasi itu tali prusik, tali yang biasa digunakan untuk panjat tebing.
Evakuasi dengan rappeling dari lantai 10 (dokpri) |
Tips dari aku, untuk siap siaga bencana dan penyelamatan diri sendiri, pertama-tama adalah tahu di mana titik kumpul dan mana jalur evakuasi. Percayalah, aku kalau masuk ke ruangan atau bangunan apapun, yang pertama kali aku perhatikan adalah tanda jalur evakuasi dan jendela atau pintu di dalam ruangan.
(dok. BNPB) |
(dok. Blomil) |
Wooo akupun baru tahu kalau ada kebakaran ternyata harus merangkak to, toss kita dipikirnya yg bener lari ya biar cepet keluar menyelamatkan diri.
BalasHapusBtw buat teman2 yg tuli diikut sertakan juga disini. Wahh keren edukasinya ke banyak pihak. Semoga makin siap, makin bisa mengurangi korban bencana ya. Salut deh sama BNPB
Nah, simulasi bencana ini memang harus rutin latihan ya Kak, biar tidak panik saat ada bencana. Pas gempa kemarin aja udah ngos-ngosan turun dari lt 6 pakai tangga darurat. Setiap orang harus tahu ya cara menyelamatkan diri ya.
BalasHapusSeumur umur baru sekali ikut simulasi penanggulangan bencana dan ternyata seru bgt. Jd tau harus bagaimana dlm menghadapi bencana yg dtg
BalasHapusBencana tidak lah menduga, jangan panik . Kalau belajar stimulasi ini pasti tidak kaget lagi.
BalasHapusAku pernah niy Ka Widya latihan kesiapsiagaan kalau terjadi bencana waktu masih ngantor dulu. Latihannya siy sederhana, kita mengetahui titik kumpuk dan meleawati jalur evakuasi.
BalasHapusPengalanan pelatihan Ka Widya ini wajar kalau bikin deg-degan soalnya lebih kompleks dari latihan yang pernah Aku alami. Jadi tambah dech pengetahuannya. Thanks Ka Wid for share.