Temans, pernah tahu lembaga untuk pengadaan barang dan jasa
pemerintahan di Indonesia? Namanya P3I atau Pusat Pengkajian Pengadaan
Indonesia. Tanggal 30 November 2017 aku hadir di temu nasional P3I. Sempet
bingung, enggak paham, enggak ngerti karena yang dibahas itu Undang-undang dan
segala peraturan perihal pengadaan.
Apa-apa yang dibutuhkan dalam lingkup pemerintahan itu
ternyata harus jelas dan hati-hati juga dalam pengadaannya. Dari segi regulasi,
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya semua harus jelas, salah
sedikit bisa gawat. Hmmm.
Oke, dari hasil temu nasional itu, aku mau tulis di sini
yang bisa aku tulis dan sedikit paham, kalau ada teman-teman yang lebih paham
bisa tambahkan di komentar, ya.
Perkenalan dulu dengan P3I. P3I itu singkatan dari Pusat Pengkajian
Pengadaan Indonesia yang diketuai oleh Khalid Mustafa. Berdiri pada 1 Juni 2012
berdasarkan Akta Notaris dari Titi Sri Amiretno Diah Wasisti Bagono, S.H.,
M.Hum.
VISI
Menjadi lembaga pengkajian dan studi pengadaan barang/jasa
yang andal, terpercaya, dan sebagai referensi nasional dan internasional.
MISI
- Mengembangkan pengetahuan dan keahlian pengadaan berakar budaya produktif Indonesia, dan mendorong sumber daya manusia pengadaan beretika dan profesional.
- Mendukung pengembangan sistem pengadaan nasional yang kredibel.
- Mendorong pencarian solusi atas permasalahan pengadaan barang/jasa pada sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.
- Membuka jaringan komunikasi antara regulator pengadaan, pengguna, dan penyedia barang/jasa.
SDM P3I sendiri berasal dari berbagai institusi dan talenta,
mulai dari perguruan tinggi, pemerintah daerah, PU, pendidikan, kesehatan,
hingga ahli IT. Semuanya memiliki visi yang sama dan menjadi senjata utama
lembaga yang memiliki motto “Your Trusted Partner in Procurement and Supply
Chain Management”.
Belum lama ini aku nulis tentang dana desa, dan ternyata ada
kaitannya juga dengan P3I dalam pengadaan barang/jasa di daerah. Aku kasih info
sedikit seputar pengadaan barang/jasa di desa, ya. Pertama dana desa
dianggarkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Olehnya disusun
indikasi kebutuhan dana dan rencana dana pengeluaran dana desa, enggak sekadar
penyusunan karena semua berdasarkan Undang-undang. Kemudian untuk
pengalokasiannya di setiap desa diatur oleh Bupati atau Walikota. Jadi besarannya
enggak sama, dihitung dari kebutuhan desa-desa itu sendiri. Penyalurannya ini
agak panjang ternyata, pertama pemindahbukuan dana dari Rekening Kas Umum
Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Dari RKUD ini sudah masuk ke
wewenang Bupati atau Walikota untuk diserahkan ke Kepala Desa dengan cara
pemindahbukuan dari RKUD ke Rekening Kas Desa (RKD).
Aku baru tahu kalau penyaluran dananya itu dibagi dua
tahapan, pertama di bulan Maret digelontorkan sebanyak 60% dan kedua di bulan
Agustus sebesar 40%. Dana akan digelontorkan setelah Bupati atau Walikota
menerima peraturan desa menganai APBDesa dan laporan realisasi penggunaan dana
desa satu tahun anggaran sebelumnya. Dana yang digelontorkan untuk tahun
anggaran berikutnya bisa saja dilakukan pemotongan, bukan karena hal yang tidak
diinginkan tapi karena dana desa di tahun anggaran sebelumnya masih terdapat
sisa lebih dari 30%, karena dana akan kembali digelontorkan ketika dana desa di
tahun anggaran sebelumnya tersisa maksimal 30%.
Semisal dana desa masih di atas 30% sampai bulan Juli atau
menjelang penyaluran tahap kedua yang dilakukan pada bulan Agustus, maka dana
yang tertahan di tahap satu akan digelontorkan bersamaan dengan dana di tahap
kedua. Tapiii, itu cuma berlaku satu kali, jika di tahun anggaran berikutnya
masih terdapat sisa lebih dari 30% lagi, maka untuk di tahun berikutnya dana akan
benar-benar dipotong.
Dana desa yang disalurkan itu kemudian digunakan untuk
pembiayaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pengadaan barang dan jasa (PJB)
di desa dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai selesainya seluruh kegiatan
pengadaan barang dan jasa. Pengadaan ini meliputi barang, pekerjaan konstruksi,
jasa konsultasi, dan lainnya yang masih berhubungan dengan pembangunan desa. Pengadaan
barang dan jasa di desa diatur dalam PP No. 47 tahun 2015 Pasal 105.
Pengadaan barang dan jasa di desa ini diperhitungkan juga dari
jumlah SDM, budaya setempat, kapasitas dan kapabilitas pemerintah setempat agar
dalam penyusunannya dapat sesederhana mungkin jadi enggak memberatkan atau
menyulitkan pelaksanaan pengadaan di desa. Dalam tata cara pengadaan barang dan
jasa di desa, Bupati atau Walikota membentuk tim asestansi desa yang tugasnya
meningkatkan kapasitas SDM dan melakuakn pendampingan pengadaan barang dan
jasa.
Pengadaan barang dan jasa di desa pada dasarnya dilakukan
secara swakelola yang dilakukan dan diawasi sendiri oleh tim pengelola
kegiatan. Jika dalam proses pengadaan ada yang tidak dapat dilaksanakan secara
swakelola, maka dapat dilaksanakan oleh penyedia barang dan jasa yang dianggap
mumpuni.
Panjang, ya, proses dan pelaksanaannya, tapi sedikit banyak
aku jadi paham bagaimana pengelolaan dana desa dan kaitannya dengan pengadaan
barang dan jasa di desa. Karena proses yang panjang ini, nih, perlu pengawasan
dan implementasi yang benar biar dana desa yang digelontorkan benar-benar
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa.
Ahey rumah baluuuuuu :D
BalasHapusSelamat yaaaa.
Bicara soal dana desa saya baca dulu baik2 artikelnya. Yg ptg komen dulu hahaha
Banyakin BW Neng
Hihihi. BW teh, tapi kan gak semua balik bw juga teh.
Hapus