Suatu ketika, lagi main ke rumah teman, pas lagi ngobrol di teras depan, salah satu tetangganya ikutan gabung. Lupa awalnya membicarakan apa, tahu-tahu si tetangga menceritakan kampung halamannya. Aku dan si teman syok, sepanjang percakapan cuma mengeluarkan kata "hah, lho, ih, astaga, haaa" disertai ekspresi jijik, bingung, dan nggak tahu harus ngomong apa.
Jadi, si tetangga ini cerita tentang sanitasi di kampungnya. Satu daerah di Barat Pulau Jawa, yang masih bisa dibilang pelosok, memang agak sulit transportasinya. Jadi, di daerah si tetangga ini, enggak ada rumah yang punya kamar mandi atau toilet, Ges. Pusing, enggak tuh bayanginnya??? Kita yang biasa bersih, ke toilet, kok agak gimana gitu ya dengernya. Sedih gak sih, di Indonesia masih ada sebenernya beberapa wilayah lain yg sanitasinya masih buruk.
Terus gimana kalau mau buang air???
Katanya kalau mandi di kali, kalau mau pipis di mana saja, yang penting enggak kelihatan, lah. Ha ha ha. Kalau mules mau eek, gimana??? Di kantong plastik dan buangnya dilempar saja ke tengah kebun, atau ya langsung saja keluarin di balik semak-semak. Jadi, kalau siang akan terlihat ada apa saja di lahan-lahan yang kosong. Aku sampai dikasih tahu, kalau suatu saat menjejak ke daerahnya sana, jangan pernah menginjak kantong plastik hitam, karena isinya ranjau. Ha ha ha.
Dia bahkan mengakui, di rumahnya ada kamar mandi dan kloset belum lama. Katanya, rumah yang sudah punya kamar mandi, itu artinya salah seorang pemilik rumah sudah pernah ke kota besar, jadi mulai sadar, bahwa kamar mandi di rumah itu penting.
Minggu lalu, aku ikut acara IUWASH PLUS di bilangan Tebet. Lagi mempertanyakan Sanitasi Aman, Mulai Kapan? Ya, cocok banget, kan sama kasus di atas. Mau sampai kapan sanitasinya kacau kayak gitu?
Kehadiran sanitasi itu, kan penting banget dari sebuah bangunan. Yaeyalah! Kalau enggak ada, bisa runyam urusan masa depan. Harusnya semua sadar akan sanitasi aman. Enggak tahunya banyak yg belum oke. Cerita di atas mungkin hanya sebagian kecil, enggak tahu kalau di seluruh Indonesia bagaimana. Nyatanya, di DKI pun masih ada yang sanitasinya belum aman, ya, di Tebet itu sendiri.
Ada 13 sungai di DKI, hanya ada 2 sungai yang airnya layak diminum. Oh, ya, ke-13nya itu berakhir di Kepulauan Seribu. Bayangkan, dari 13 hanya 2 yang baik-baik saja, sudah separah itu polusi dari sanitasi yang tidak aman. Per harinya saja, ada 150 truk pengangkut limbah black water untuk diolah oleh PD PAL JAYA. Ini baru jumlah di seluruh DKI, yaaa, bukan dan sekitarnya. Karena harusnya setiap wilayah punya tempat pengolahannya sendiri sendiri.
Setiap hari, sebanyak itu diolah, tahu di mana ngolahnya? Di Setiabudi, main saja ke sana, nanti kalian akan dikasih tahu prosesnya. Kenapa kayak gitu harus diolah?
Iya, supaya airnya yang penuh bakteri itu enggak membahayakan masyarakat sekitar. Saking bahayanya, ini ngaruh lho ke stunting. Stunting bukan sekadar urusan tinggi badan, tapi efek ke perkembangan otak juga. Nah, ini ada hubungannya banget sama sanitasi sehat.
Pak Wahyono, salah seorang warga Tebet Timur, Oktober ini akhirnya memiliki kesadaran untuk membuat septic tank sendiri, aslinya beliau ini orang Pekalongan. Di sana pemda sudah membangun 250 septic tank. Hal ini menggugah kesadaran Pak Wahyono untuk memiliki septic tank sendiri di Jakarta.
Pak Wahyono sudah tinggal di rumahnya saat ini selama kurang lebih 30 tahun. Atas kesadaran sendiri, beliau membuat septic tank pun dengan dana sendiri, sekitar 5 juta. Awalnya semua pembuangan larinya ke sungai tepat di depan rumahnya. Sadar akan bahaya E. Coli bagi pertumbuhan anak-anak, pun kesehatan pada umumnya.
Hari itu pula, aku sama kawan-kawan berkesempatan lihat salah satu rumah yang akan disedot septic tank-nya. Pak Kimin dan Pak Agus adalah dua orang petugas dari PD PAL JAYA. Mereka termasuk petugas yang akan rutin melakukan penyedotan dari rumah-rumah warga, dengan membawa mobil tangki berkapasitas 4 meter kubik. Penyedotan di setiap rumah itu sebanyak 2 meter kubik, jadi satu tangki itu bisa untuk menampung penyedotan dari 2 rumah. Harga untuk penyedotan ini, pajet lengkap Rp 330.000 per 2 meter kubik.
Dua petugas PD PAL JAYA untuk menyedot septic tank, Pak Agus dan Pak Kimin. (dokpri) |
Pak Kimin memasukkan selang ke dalam septic tank (dokpri) |
Wilayah RT 8 Tebet Timur ini punya IPAL Komunal sendiri. Ada pipa induk yang menghubungkan pembuangan dari setiap rumah menuju IPAL Komunal. IPAL Komunal yang dibangun punya kedalaman 3 meter, dengan panjang 6 meter dan lebar 3 meter. Sampai saat ini, IPAL Komunal menampung pembuangan 160 jiwa.
Ibu Wiwik, "influencer" kesadaran memiliki septic tank di Tebet Timur. Di rumah Bu Wiwik ada IPAL Komunal yang aku ceritakan sebelumnya. Kebetulan beliau adalah salah satu kader kesehatan, jadi beliau banyak mendapat penyuluhan dan tugas-tugas memasyarakatkan informasi-informasi penting yang didapatnya terkait kesehatan.
IPAL Komunal yang ada saat ini dibangun dengan dana patungan dari warga, pun perbantuan dari APP Sinarmas. Jadi, si IPAL ini fungsinya untuk menampung pembuangan dari rumah-rumah, terus diolah supaya airnya aman dibuang ke kali.
Nah, kendala IPAL Komunal adalah mencari lahan, dan akhirnya diputuskan di wilayah RT 8, ya, termasuk rumah Bu Wiwik. Lucunya, perihal sanitasi yang enggak mungkin dikesampingkan ini masih sulit cari lahan, padahal sudah selayaknya menjadi kesadaran masyarakat setempat, demi sanitasi sehat. Toh, imbas negatif dan positif dari sanitasi kembali ke mereka.
Tantangan terberat untuk sama-sama memperbaiki sanitasi adalah biaya. Sebagian besar merasa berat di pengeluaran biayanya. Padahal, efek sanitasi yang belum aman ini cukup bahaya, kelihatannya sih hanya diare, tapi kan kalau terus menerus, akan sangat bahaya. Diare ini jadi penyakit yang paling sering dan terbesar di DKI. Dari diare, belum kelihatan, tapi akan menjadi boom besar beberapa tahun ke depan, dia terakumulasi, efeknya? Stunting, Guys.
Stunting bukan melulu perihal gizi dan kesehatan ibu hamil, tapi juga perilaku hidup sehat. Lalu, kenapa enggak gerak dari sepuluh tahun lalu? Jadi, balik ke keterbatasan informasi, lalu penolakan dari masyarakat dengan alasan 'saya baik-baik saja, kok'. Mereka membenarkan kebiasaan, bukan membiasakan yang benar.
Dalam kesehatan itu, prosesnya TAHU - MAU - MAMPU. Jika seseorang sudah tahu bahwa hal yang dilakukan buruk, belum tentu dia mau mengubah kebiasaannya itu. Lalu, jika sudah di tahap MAU, dilihat lagi apakah MAMPU untuk melakukannya? Begitu prosesnya, makanya walau sudah sadar akan sanitasi aman, masih banyak yang kepentok di MAU dan MAMPU.
Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Komentar
Posting Komentar
Hola, siapa pun anda, terima kasih sudah mampir. Semoga anda membacanya dengan seksama dan dalam tempo secukupnya. Sila tinggalkan komentar